HUKUM ACARA ELEKTRONIK: IJTIHAD DAN ISTINBATH Penulis: Yasmita

HUKUM ACARA ELEKTRONIK: IJTIHAD DAN ISTINBATH

Oleh : Yasmita1

Dalam rencana pengembangan hukum acara elektronik, ijtihad dan

istinbath (proses penggalian hukum dari sumber-sumber syariah) serta penerapan

kaidah fiqih menjadi sangat relevan. Pengembangan hukum yang memanfaatkan

kemajuan teknologi seperti persidangan elektronik memerlukan pendekatan ijtihad

yang dinamis dan kaidah fiqih yang dapat menuntun pada keputusan hukum yang

tepat sesuai dengan konteks modern.

1. Metode Ijtihad/Istinbath dalam Pengembangan Hukum Acara Elektronik

Metode ijtihad yang relevan untuk pengembangan hukum acara elektronik

adalah:

a. Ijtihad Qiyasi (Analogi)

Metode ini menggunakan qiyas atau analogi dengan hukum-hukum

yang sudah ada pada kasus baru. Persidangan secara elektronik adalah

sebuah fenomena baru, dan tidak ada preseden langsung dalam literatur

klasik. Namun, dengan menggunakan analogi, kita dapat membandingkan

proses persidangan konvensional dengan proses persidangan elektronik.2

Analogi Persidangan Tradisional dengan Elektronik Persidangan

elektronik dapat dianalogikan dengan konsep bayyinah (bukti yang jelas)

dalam Islam. Jika dalam persidangan tradisional bukti disampaikan secara

fisik di hadapan hakim, dalam persidangan elektronik, bukti dapat

disampaikan melalui teknologi dengan mekanisme yang tetap menjamin

keabsahan dan integritas bukti tersebut.


1

Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Tigaraksa

2

 Mardani. (2012). Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana


b. Ijtihad Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah adalah metode ijtihad yang mempertimbangkan

kemaslahatan umum atau kepentingan publik. Persidangan elektronik dapat

dipandang sebagai sesuatu yang memberikan manfaat besar, seperti efisiensi

waktu, biaya, dan aksesibilitas. Karena itu, jika teknologi ini memberikan

kemaslahatan lebih besar tanpa bertentangan dengan prinsip syariah, maka

bisa diadopsi dalam sistem hukum acara. Kemaslahatan dalam Hukum

Acara Elektronik Melalui maslahah, persidangan elektronik dapat didukung

karena mempermudah akses keadilan, terutama di era digital. Misalnya, bagi

pihak yang tinggal di lokasi terpencil atau sulit menjangkau pengadilan

secara fisik, sidang elektronik memberikan kemudahan dan mempercepat

proses peradilan.

c. Ijtihad Istihsan

Istihsan adalah metode ijtihad yang memilih pendapat yang lebih

ringan atau lebih mudah diterima dibandingkan dengan pendapat lain yang

seharusnya berlaku dalam kondisi tertentu. Dalam konteks persidangan

elektronik, istihsan bisa diterapkan dengan menyesuaikan prosedur yang

lebih ringan namun tetap sejalan dengan syariah.

Kemudahan dalam Prosedur Elektronik Misalnya, kehadiran saksi

atau terdakwa yang tidak bisa hadir secara fisik dalam sidang dapat

difasilitasi melalui video conference, yang merupakan bentuk istihsan untuk

menghindari kesulitan yang berlebihan. Dalam situasi yang sulit atau

darurat, Islam menganjurkan untuk mempermudah, dan ini bisa diterapkan

dalam prosedur elektronik.

d. Ijtihad Urf (Adat Kebiasaan)

Urf adalah adat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan

syariah dan dapat diambil sebagai dasar hukum. Karena teknologi telah

menjadi bagian dari kebiasaan hidup modern, dan banyak proses sosial

sudah bergantung pada teknologi, penerapan urf dapat digunakan untuk

mendukung penggunaan persidangan elektronik.

Kebiasaan Modern dalam Penggunaan Teknologi Teknologi seperti

video conference, platform daring, dan pengiriman dokumen digital telah

menjadi urf dalam banyak kegiatan sehari-hari, termasuk dalam proses

legal. Maka, mengadaptasi hukum acara elektronik dengan

mempertimbangkan urf ini menjadi bagian dari proses ijtihad yang

kontekstual.

2. Kaidah Fiqih yang Relevan untuk Pengembangan Hukum Acara

Elektronik

Berikut beberapa **kaidah fiqih** yang dapat digunakan sebagai

dasar untuk pengembangan hukum acara elektronik:

a. Al-Umur bimaqasidiha (Segala perkara tergantung pada tujuannya)

Kaidah ini menekankan bahwa segala tindakan harus dinilai

berdasarkan tujuan akhirnya. Dalam hal ini, tujuan utama dari

pengembangan hukum acara elektronik adalah untuk memastikan bahwa

keadilan dapat ditegakkan dengan lebih efisien dan mudah diakses. Jika

tujuan tersebut tercapai tanpa melanggar prinsip-prinsip syariah, maka

hukum acara elektronik dapat diterima.3

Implementasi Persidangan elektronik, jika tujuannya adalah untuk

mempermudah akses keadilan dan memberikan solusi yang lebih cepat,

sah menurut kaidah ini. Namun, harus dijaga agar proses elektronik tetap

memenuhi prinsip-prinsip keadilan, seperti transparansi dan tidak

memihak.

b. Adh-Dhararu Yuzal (Kemudaratan harus dihilangkan)

Kaidah ini mengajarkan bahwa segala bentuk kemudaratan harus

dihilangkan atau diminimalisir. Dalam konteks persidangan elektronik,

jika penerapan teknologi dapat mengurangi kemudaratan, seperti biaya

yang besar, waktu yang lama, atau kesulitan hadir di pengadilan, maka

hukum acara elektronik dapat diterima.

Penghapusan Kemudaratan Misalnya, sidang fisik bisa menjadi

kendala bagi pihak yang jauh dari lokasi pengadilan. Dengan persidangan

elektronik, kemudaratan ini bisa dihilangkan, menjadikan proses lebih

efektif dan tetap sah secara syariah.

c. Al-Masyaqqah Tajlibu at-Taysir (Kesulitan membawa kemudahan)

Kaidah ini menyatakan bahwa jika ada kesulitan dalam

melaksanakan sesuatu, maka solusi yang lebih mudah harus diterapkan.

Dalam konteks hukum acara elektronik, jika proses persidangan fisik

menimbulkan kesulitan bagi pihak yang berperkara, maka sistem

elektronik bisa menjadi alternatif yang sah.


3

Basiq Djalil. (2008). *Ilmu Ushul Fiqhi*. Jakarta: Sinar Grafika.

Kemudahan dalam Proses Implementasi sidang elektronik dapat

membantu pihak-pihak yang terhalang oleh kendala fisik atau geografis.

Berdasarkan kaidah ini, persidangan elektronik dapat diterima sebagai

solusi yang sah dan sesuai dengan syariah dalam kondisi yang

menyulitkan.

d. La Darar wa La Dirar (Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh

membahayakan orang lain)

Kaidah ini menekankan bahwa hukum tidak boleh menyebabkan

kerugian atau bahaya bagi pihak manapun. Dalam penerapan hukum acara

elektronik, perlu diperhatikan bahwa sistem ini harus menjaga hak-hak

semua pihak dan tidak merugikan salah satu pihak hanya karena adanya

perbedaan dalam kemampuan teknologi atau akses.

Mencegah Bahaya Teknologi Pengembangan hukum acara

elektronik harus mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam hal

akses teknologi yang merata. Jika ada pihak yang tidak mampu

menggunakan teknologi, maka pengadilan harus memberikan solusi agar

tidak terjadi ketidakadilan.

e. Al-Yaqlu Yuzal (Keraguan harus dihilangkan)

Kaidah ini menekankan pentingnya memastikan setiap proses

hukum berjalan dengan kepastian. Dalam persidangan elektronik, segala

hal yang berpotensi menimbulkan keraguan, seperti keamanan data atau

keabsahan bukti elektronik, harus diatur dengan jelas untuk

menghilangkan keraguan dan menjaga keadilan.

Keamanan dan Kepastian Proses Elektronik Hukum acara

elektronik harus mencakup aturan yang jelas tentang keabsahan bukti

digital, keamanan komunikasi elektronik, dan privasi para pihak yang

terlibat. Hal ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan menghindari

keraguan dalam proses persidangan.

Penerapan Metode Ijtihad dalam Pengembangan Hukum Acara Elektronik

Beberapa metode ijtihad yang relevan dalam mengembangkan hukum

acara elektronik, antara lain:

a. Ijtihad Qiyasi (Analogi)

Contoh Penerapan Dalam persidangan konvensional, kehadiran fisik

para pihak di pengadilan adalah wajib. Namun, dalam konteks persidangan

elektronik, kehadiran para pihak dapat dianalogikan dengan partisipasi melalui

video conference atau platform daring, yang tetap memenuhi prinsip

"kehadiran" meskipun tidak secara fisik. Ini didasarkan pada kesamaan tujuan

(illat) dari kehadiran, yaitu memastikan interaksi langsung dengan hakim dan

semua pihak yang terlibat.

b. Ijtihad Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umum)

Contoh Penerapan Sidang elektronik memberikan kemaslahatan

dengan memungkinkan akses yang lebih mudah bagi para pihak, khususnya

yang berada di daerah terpencil atau memiliki kendala mobilitas. Prinsip

maslahah ini dapat digunakan untuk melegitimasi pengembangan hukum acara

elektronik, dengan syarat tetap memenuhi prinsip keadilan dan transparansi.

c. Ijtihad Istihsan (Preferensi Hukum)

Contoh Penerapan Persidangan fisik mungkin mengharuskan

kehadiran hakim, saksi, dan para pihak di satu tempat pada satu waktu, yang

bisa sulit dilakukan dalam situasi tertentu. Dengan ijtihad istihsan, sidang

elektronik yang memungkinkan fleksibilitas waktu dan tempat bisa dipilih

sebagai bentuk kebaikan dan kemudahan, tanpa mengorbankan integritas

hukum.

d. Ijtihad Urf (Kebiasaan)

Contoh Penerapan Pemakaian dokumen elektronik dan komunikasi

daring sudah menjadi urf dalam konteks bisnis, pendidikan, dan pelayanan

publik. Dalam hal ini, hukum acara elektronik dapat dikembangkan dengan

dasar urf bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan proses digital, dan ini sesuai

dengan perkembangan zaman.

Penerapan Kaidah Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqih dalam Pengembangan

Hukum Acara Elektronik

Kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqih juga penting dalam mengistinbath

(menetapkan hukum) untuk pengembangan hukum acara elektronik. Beberapa

kaidah yang bisa diterapkan antara lain:

a. Kaidah Ushul Fiqh: Al-Ashlu fi Al-Mu'amalat Al-Ibahah (Hukum Asal

dalam Mu'amalah adalah Mubah/Boleh)

Contoh Penerapan Tidak ada nash eksplisit yang melarang penggunaan

teknologi dalam persidangan. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah ini, hukum

acara elektronik dianggap sah dan boleh selama memenuhi prinsip-prinsip dasar

keadilan yang disyaratkan oleh syariah.

b. Kaidah Ushul Fiqh: La Yunkiru Taghayyur Al-Ahkam Bi Taghayyur AlAzman Wa Al-Amkinah (Perubahan hukum karena perubahan waktu

dan tempat tidak dapat diingkari)

Contoh Penerapan Jika dalam konteks masa lalu persidangan fisik

menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan bukti dan memutus perkara,

kini dengan teknologi digital, pengadilan bisa tetap berlangsung secara

elektronik tanpa mengurangi esensi keadilan. Hukum acara yang

mengakomodasi sidang elektronik adalah bentuk adaptasi terhadap perubahan

zaman.

c. Kaidah Fiqih: Al-Umur Bimaqasidiha (Segala perbuatan tergantung pada

tujuannya)

Contoh Penerapan Persidangan elektronik memiliki tujuan utama

untuk memberikan keadilan yang lebih efisien dan mengurangi hambatan fisik

bagi para pihak. Dengan tujuan ini, sidang elektronik dapat dianggap sah

asalkan mekanisme tersebut tidak mengorbankan aspek-aspek substansial dari

proses hukum, seperti hak pembelaan dan keterbukaan informasi.

d. Kaidah Fiqih: Al-Dharar Yuzal (Bahaya harus dihilangkan)

Contoh Penerapan Dengan sidang elektronik, banyak masalah seperti

waktu yang lama dan biaya yang besar untuk menghadiri sidang fisik dapat

diatasi. Ini sejalan dengan kaidah bahwa kemudaratan harus dihilangkan.

Selama tidak ada bahaya yang lebih besar yang muncul dari penggunaan

teknologi, sidang elektronik bisa menjadi solusi.

e. Kaidah Fiqih: Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taysir (Kesulitan mendatangkan

kemudahan)

Contoh Penerapan Persidangan elektronik memungkinkan para pihak

yang tinggal jauh dari lokasi pengadilan atau yang memiliki keterbatasan

mobilitas untuk tetap bisa menghadiri sidang. Kaidah ini membenarkan

penggunaan sidang elektronik sebagai upaya untuk mengurangi kesulitan yang

muncul dalam proses hukum konvensional.

f. Kaidah Fiqih: La Darar wa La Dirar (Tidak boleh ada bahaya atau

menimbulkan bahaya bagi orang lain)

Contoh Penerapan Pengadilan harus memastikan bahwa semua pihak,

termasuk mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi atau tidak memiliki

akses ke perangkat digital, diberikan alternatif atau bantuan agar tidak

dirugikan dalam persidangan elektronik. Hal ini penting untuk menjaga prinsip

keadilan.

Kesimpulan

Pengembangan hukum acara elektronik dapat dilakukan dengan

berpedoman pada metode ijtihad qiyasi, maslahah mursalah, istihsan, dan urf yang

disesuaikan dengan kondisi zaman modern. Sementara itu, kaidah-kaidah fiqih

seperti al-umur bimaqasidiha, adh-dhararu yuzal, al-masyaqqah tajlibu at-taysir, la

darar wa la dirar, dan al-yaqlu yuzal dapat menjadi panduan normatif dalam

memastikan bahwa hukum acara elektronik berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak.

Dalam analisis dan pengembangan hukum acara elektronik, metode

ijtihad dan kaidah ushul fiqh serta kaidah fiqih memiliki peran sentral. Mereka

memberikan dasar metodologis untuk menggali hukum dari sumber-sumber

syariah, khususnya untuk menghadapi persoalan baru seperti hukum acara

elektronik yang tidak dijumpai secara eksplisit dalam nash (Al-Quran dan Hadis).

Dalam mengembangkan hukum acara elektronik, metode ijtihad seperti

qiyas, maslahah mursalah, istihsan, dan urf dapat digunakan untuk menggali

solusi hukum yang relevan dengan perkembangan zaman. Sementara itu,

penerapan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqih seperti al-umur bimaqasidiha, la

darar wa la dirar, dan al-masyaqqah tajlibu at-taysir memastikan bahwa hukum

acara elektronik benar-benar membawa kemaslahatan.

Dalam mengembangkan hukum acara elektronik, pertimbangan dari segi

filosofis, yuridis, dan sosiologis sangat penting untuk memastikan bahwa hukum

yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi juga tetap

berpijak pada prinsip-prinsip maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariah).

Maqashid al-syariah bertujuan untuk menjaga lima hal utama: agama (din), jiwa

(nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dengan pandangan ini,

pengembangan hukum acara elektronik harus mempertimbangkan aspek-aspek

yang mendukung terlaksananya keadilan dan kemaslahatan masyarakat

Artikel Terbaru
Produk Hukum
Peraturan Daerah Total: 50
Peraturan Bupati Total: 482
Keputusan Bupati Total: 154
Instruksi Bupati Total: 18
Keputusan Sekda Total: 19